MEMPELAJARI KULTUR ANTERA GALUR MUTAN CABAI MERAH KERITING
(Capsicum annum. L) SECARA IN-VITRO
(Anther Culture Study of Red Chili Mutant Lines
through In Vitro Technique)
Azri Kusuma
Dewi 1) dan Ita Dwimahyani 2)
Abstract
Study on anther culture from red chili mutant lines (Capsicum annuum.L) using in vitro
technique was carried out based on formation of callus and green spot from
chili anther culture. Two kinds of different media based on hormonal
composition were used for callus induction. A half of anthers quantities were
directly cultured on callus induction medium, while rest of them were treated
with cold shock (4oC) for 3 and 6 days subsequently cultured on callus
induction medium. The highest callus formation was observed in culture from Ac
medium containing 1 mg/l 2,4-D and 0,1 mg/l kinetin and were obtained from 0
days cold shock Kr 0 30%, Kr 20 25% and Kr 40 30% respectively. While cold
shock for 3 days increasing 15% callus formation from Kr 40 mutant lines.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Capsicum annuum L atau cabai merupakan tanaman hortikultura semusim yang
mempunyai nilai ekonomi (Barany et al.
2001). Belakangan ini produksi cabai terus
meningkat terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik
di benua Afrika maupun Asia (Deptan go.id,
2006). Di Indonesia cabai termasuk komoditas hortikultura bernilai ekonomi yang
dapat dikonsumsi baik sebagai rempah maupun untuk sayuran. Permintaan cabai di Indonesia
diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sehingga impor harus dilakukan kalau
produksi dalam negeri tidak dapat terpenuhi (BPS, 2000).
Salah satu
varietas cabai yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah cabai merah
keriting. Perbaikan varietas cabai merah keriting seperti ketahanan terhadap
penyakit dapat dilakukan melalui aplikasi teknologi mutasi dan teknik kultur
jaringan sehingga akan memberikan nilai tambah untuk program pemuliaan,
terutama dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi cabai secara
optimal. Salah satu metoda dalam kultur
jaringan yang banyak digunakan untuk menunjang kegiatan pemuliaan tanaman
adalah kultur antera. Tanaman haploid ganda yang dihasilkan dari kultur antera[1]
dapat mencapai homozigot pada generasi kedua. Hal ini akan mempersingkat waktu[2]
seleksi jika dibandingkan dengan pemuliaan secara konvesional (Morrison dan Evans,
1988) disamping evaluasi karakter kuantitatif yang dapat dipercepat sehingga
lebih menghemat waktu dan tempat (Kasha dan Maluszynski, 2003).
Keberhasilan aplikasi teknik kultur antera dalam
mendapatkan tanaman haploid ganda pada tanaman cabai masih sedikit yang dilaporkan
(Wang et al, 1973., Novak FJ, 1974., serta Mityko et al.,1999;
Dolcet-Sanjuan et al.,1997 dan Gyulai et al.,
2000 dalam Barany et al.,2001). Rendahnya frekuensi
regenerasi tanaman yang berasal dari kultur antera disebabkan sulitnya
memperoleh kalus embriogenik. Sibi et al
(1979) telah melakukan penelitian mengenai androgenesis dari haploid organ
untuk mendapatkan tanaman haploid ganda, tetapi belum berhasil mendapatkan
tanaman yang diinginkan. Rendahnya frekuensi pembentukan kalus embriogenik dari
kultur antera cabai merupakan salah satu kendala dalam menghasilkan tanaman
haploid ganda. Untuk mengatasi hal tersebut mungkin perlu dilakukan suatu
perlakuan awal sebelum antera cabai di induksi pada media pembentukan kalus.
Salah satu perlakuan awal yang pernah dilakukan pada kultur antera padi adalah
dengan memberi perlakuan stres dingin selama 2-3 hari pada antera sebelum
dikultur dan hasilnya menunjukkan dapat memperbaiki frekuensi pembentukan kalus
embriogenik (Qu dan Chen, 1983, Rackoczy et
al, 1997, Ishak dan Ita Dwimahyani, 1997). Disamping itu respon dari
masing-masing genotipe tanaman sangat berbeda antara satu genotipe dengan
genotipe lainnya.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
variasi hormon tumbuh dan perlakuan awal stres dingin terhadap frekuensi
pembentukan kalus dan spot hijau dari kultur antera galur mutan cabai merah keriting.
1.3. Hipotesis
Pemberian hormon tumbuh yang berbeda dan perlakuan stres
dingin berpengaruh terhadap pembentukan kalus dan spot hijau dari antera galur
mutan cabai merah keriting.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan rempah paling penting di dunia (Bosland,
1996). Genus Capsicum berasal dari dunia baru,
spesies C. annuum dari Meksiko dan spesies
lain (C. frutescens, C.baccatum, C. chinense, dan C. pubescens)
dari Amerika Selatan. Oleh pedagang Portugis dan Spanyol, cabai diintroduksikan
ke Asia pada abad ke-16, dan spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia
Tenggara (Sanjaya L dkk. 2002). Lebih dari 100 spesies Capsicum telah diidentifikasi. Lima spesies di antaranya telah dibudidayakan,
yaitu C. Annuum, C. chinense, C. frutescens, C. pubescens,
dan C. baccatum (Vagera, 1990). Klasifikasi spesies-spesies ini
didasarkan pada karakter morfologi, terutama morfologi bunga (Heiser dan Smith,
1953). Cabai dalam bentuk kering biasanya
digunakan sebagai bumbu dapur, dengan rasa dan aroma spesifik yang disebabkan
oleh kandungan capsaicin alkaloid didalamnya.
Pada cabai terkandung beberapa vitamin seperti B1, B2, C dan P yang cukup
tinggi jika dibandingkan dengan sayuran lainnya. Dewasa ini tanaman cabai sudah
ditanam dihampir seluruh bagian dunia. Kegunaannya baik sebagai bumbu masakan
dan penghangat badan sangat diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat (Vagera, 1990).
Seperti tanaman hortikultura lainnya
kestabilan produksi cabai juga dipengaruhi oleh serangan hama dan penyakit.
Pemberantasan hama dan penyakit pada tanaman cabai merupakan salah satu
pemeliharaan tanaman yang cukup penting. Banyak jenis hama, serangga dan kutu
daun yang sangat membahayakan kesehatan tanaman dan bahkan dapat menggagalkan
pembuahannya. Penggunaan pestisida adalah salah satu alternatif pencegahan namun
pemberantasan dengan pestisida memerlukan tambahan biaya yang besar. Penggunaan
varietas yang resisten adalah sangat ideal karena dapat menekan biaya
budidayanya (Sunaryono H, 2000).
Pemuliaan cabai pertama dilakukan di Amerika tropis untuk
kultivar cabai manis, untuk cabai pedas pemuliaan baru berkembang akhir-akhir
ini. Informasi keragaman genetik merupakan dasar untuk mengembangkan strategi
pemuliaan tanaman (Sanjaya dkk. 2002). Aplikasi
pemuliaan mutasi adalah salah satu cara untuk merakit suatu varietas baru. Dengan penggunaan radiasi
sinar gamma akan memperluas keragaman genetik yang ada. Kombinasi teknik mutasi
dengan kultur jaringan akan mempercepat perbanyakan varietas baru tersebut.
III. BAHAN DAN
METODA
Persiapan
antera cabai
Antera cabai yang digunakan berasal dari
galur mutan cabai merah keriting yaitu Kr20, Kr40 dan Kr0 sebagai kontrol yang
berumur 30-40 hari dari saat tanaman mulai berbunga hingga antera sudah muncul
ke permukaan. Sebagian antera diberi perlakuan dengan stres dingin pada
temperatur 4oC dengan variasi perlakuan 3 hari dan 6 hari, sedangkan
sebagian antera lainnya langsung di kultur pada dua jenis media induksi kalus.
Media
untuk induksi pembentukan kalus
Media pembentukan kalus yang
digunakan adalah media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang terdiri dari
unsur-unsur makro dan mikro kemudian ditambahkan 0,5 mg/l asam nikotinat, 0,5
mg/l pyridoxin, 0,5 mg/l thiamin HCl, 9 gr/l bacto agar, dan 40 gr/l sukrosa.
Media dibagi dalam dua jenis berdasarkan komposisi hormon tumbuh yang
digunakan, yaitu media Ac yang terdiri dari 1 mg/l 2,4 D dan 0,1 mg/l kinetin
dan media Bc yang terdiri dari 1 mg/l NAA dan 0,1 mg/l kinetin.
Kultur
antera cabai
Antera cabai disterilkan dengan HgCl2
(0,05%) selama 20 menit, kemudian dibilas tiga kali dengan air suling steril.
Bunga yang masih muda (kuncup) dilepaskan dari tangkainya dengan menggunakan
skalpel. Selanjutnya mahkota bunga yang masih kuncup itu dibuka dan antera
cabai yang berwarna hijau dan keunguan tersebut dilepas satu persatu. Kemudian
antera cabai tersebut diinduksikan pada kedua media dalam cawan petri. Setiap
cawan petri berisi 20 antera dan masing-masing perlakuan menggunakan tiga kali
ulangan.
Media
regenerasi antera
Kalus yang sudah terbentuk pada
media induksi dipindahkan ke media regenerasi untuk merangsang pembentukan spot hijau. Komposisi media regenerasi
kalus hampir sama dengan media untuk induksi kalus perbedaan hanya terletak pada
komposisi hormon tumbuh yang digunakan yaitu 1 mg/l BAP dikombinasikan dengan
0,05 mg/l NAA. Kultur kemudian disimpan dalam ruang inkubasi pada suhu 27oC.
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
Antera cabai yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dari tanaman yang berumur 30-40 hari dari waktu
pembungaan sampai pada saat antera sudah muncul ke permukaan. Antera cabai ini
berasal dari galur mutan cabai merah keriting yaitu Kr20, Kr40 dan Kr0 sebagai
kontrol. Dari hasil evaluasi karakter
morfologi galur-galur mutan tanaman yang digunakan untuk kultur antera ini
sudah memperlihatkan keragaman (Tabel
1.). Oleh sebab itu aplikasi teknik kultur antera akan mempercepat proses
homogenisasi dari galur mutan yang terseleksi.
Tabel
1. Evaluasi keragaman morfologi galur mutan cabai keriting di lapangan
No
|
Genotipe
|
Jumlah Cabang Utama
|
Jumlah Cabang Anakan
|
Rerata Panjang Buah (cm)
|
Rerata Berat per Buah Cabai (g)
|
Rerata Diameter Buah (cm)
|
1.
|
Kr0
|
2
|
30 – 67
|
8,20
|
1,0
|
2,0
|
2.
|
Kr20
|
2 – 3
|
70 – 120
|
8,96
|
1,21
|
1,95
|
3.
|
Kr40
|
2
|
30 – 65
|
8,84
|
1,42
|
1,96
|
Hasil pengamatan secara in vitro memperlihatkan antera
cabai mulai pecah satu minggu setelah diinduksi pada media kalus. Selanjutnya
beberapa antera mulai mengalami pembengkakan dan dinding-dindingnya mulai
membuka. Kalus dari beberapa antera mulai terbentuk 3-4 minggu setelah
diinduksi. Pertumbuhan kalus ditandai dengan pecahnya kelopak antera cabai yang
diakibatkan oleh hasil pembelahan sel-sel mikrospora cabai yang tumbuh menjadi
massa sel. Namun tidak semua antera cabai yang pecah mempunyai kemampuan untuk
membesar membentuk kalus. Beberapa komponen termasuk hormon tumbuh yang
digunakan dalam media induksi mempunyai peranan terhadap perkembangan jaringan
kalus tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa
penggunaan hormon 1 mg/l 2,4 D yang dikombinasikan dengan 0,1 mg/l kinetin pada
media Ac lebih cocok untuk merangsang pembentukan kalus dibandingkan dengan
kombinasi hormon tumbuh pada media Bc.
Persentase pembentukan kalus
tertinggi diperoleh pada media Ac, dimana hampir semua genotipe memberikan
respon yang baik yaitu berturut-turut 30% pada Kr0, 25% pada Kr20 dan 30% pada
Kr40 (Tabel 2.). Perlakuan awal dengan variasi stres dingin yang diberikan pada
antera cabai menunjukkan hasil nyata terhadap frekuensi pembentukan kalus hanya
pada genotipe Kr40, dimana terjadi peningkatan persentase pembentukan kalus
sebesar 15% dengan pemberian stres dingin selama tiga hari pada media Ac
(Gambar 1.). Dari Gambar 1. juga terlihat bahwa pemberian stres dingin selama
enam hari umumnya menunjukkan penurunan pembentukan kalus pada semua genotipe.
Berdasarkan grafik pembentukan kalus pada media Bc (Gambar 2.) terlihat perlakuan
awal dengan stres dingin selama tiga hari menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan tanpa perlakuan sedangkan perlakuan enam hari stres dingin cenderung
menurunkan frekuensi pembentukan kalus, selain itu tidak satupun genotipe yang
mampu membentuk kalus pada media ini.
Tabel 2.
Persentase pembentukan kalus dengan variasi stres dingin pada media Ac dan Bc.
No
|
Genotipe
|
Media Ac
Pembentukan kalus (%)
|
Media Bc
Pembentukan kalus (%)
|
||||
0 hari
|
3 hari
|
6 hari
|
0 hari
|
3 hari
|
6 hari
|
||
1
|
Kr0
|
30
|
15
|
10
|
10
|
10
|
0 (mati)
|
2
|
Kr20
|
25
|
15
|
5
|
5
|
10
|
0 (mati)
|
3
|
Kr40
|
30
|
45
|
5
|
15
|
5
|
0 (mati)
|
Tingginya persentase pembentukan
kalus pada media Ac dapat disebabkan oleh komposisi hormon tumbuh yang
digunakan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembentukan kalus pada kedua
jenis media tidak serentak dan memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Hal ini
dimungkinkan oleh lamanya penetrasi media ke dalam kelopak antera untuk
merangsang pembelahan sel-sel mikrospora. Menurut Mercy dan Zapata (1987),
posisi antera selama kultur in-vitro juga turut mempengaruhi frekuensi
pembentukan kalus dimana antera yang dikultur dengan posis miring dan salah
satu ujungnya menyentuh media akan memberikan hasil yang lebih baik terhadap
pembentukan massa kalus.
Gambar 1. Grafik
persentase pembentukan kalus pada media Ac
Gambar 2. Grafik persentase pembentukan kalus pada media Bc
Mikro kalus
yang terbentuk pada kedua jenis media secara berangsur-angsur berubah menjadi massa kalus (Gambar 3 dan
4). Pengamatan di bawah mikroskop stereo menunjukkan ada dua tipe kalus yang
terbentuk yaitu kalus yang berwarna putih dan tidak kompak yang ternyata
bersifat non embriogenik sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk
berdiferensiasi membentuk pucuk. Tipe kalus ini ditemukan pada genotipe Kr0 dan
Kr20 yang kemudian tidak mampu untuk tumbuh lebih lanjut. Sedangkan tipe yang
kedua yaitu kalus berwarna putih kekuning-kuningan (Gambar 4), kompak dan
bersifat embriogenik, sehingga mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Tipe
kalus ini ditemukan pada genotipe Kr40 yang diinduksi pada media Ac.
Perkembangan selanjutnya kalus ini
membentuk spot hijau tetapi tidak
membentuk pucuk.
Frekuensi
pembentukan kalus dari kultur antera sangat tergantung dari genotipe dan media
induksi yang digunakan (Rackoczy et al,
1997). Qu dan Chen (1983) menyatakan bahwa pembentukan kalus juga dipengaruhi
oleh perlakuan awal yang diberikan pada eksplan yang akan digunakan seperti
stres dingin dan komposisi media tumbuh kultur antera (Goldberg et al, 1993; Xie et al, 1995; Sun dan Huang, 1990). Namun Chen (1988) dan Henry et al (1994) menyatakan bahwa genotipe
dari tanaman donor lebih memegang peranan penting terhadap kultur antera.
Pemilihan genotipe sebagai sumber eksplan untuk mempelajari induksi kalus dan
regenerasi tanaman dari kultur antera cabai sangat penting.
Dari hasil
yang ditunjukkan di atas mengindikasikan bahwa genotipe Kr40 mempunyai
kemampuan untuk membentuk kalus yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe
lainnya. Perlakuan stres dingin pada antera cabai sebelum diinduksi ternyata
dapat meningkatkan persentase pembentukan kalus sebagaimana pemberian perlakuan
panas pada suhu 35oC selama 8 hari yang dilakukan oleh Barany et al (2001) pada cabai varietas Yolo
Wonder B.
Pertumbuhan
kalus pada media regenerasi menunjukkan hanya genotipe Kr40 yang mampu
membentuk spot hijau yaitu sebesar 15%, sedangkan genotipe yang lainnya mati
(Tabel 3.). Frekuensi pembentukan kalus yang tinggi tidak menjamin diperolehnya
kalus embriogenik yang banyak. Kombinasi hormon tumbuh yang tepat dalam media
dan genotipe dari tanaman donor dapat meningkatkan pembentukan kalus
embriogenik (Ishak dan Dwimahyani, 1997).
Tabel 3. Persentase pembentukan spot
hijau pada media regenerasi
No
|
Genotipe
|
Tipe kalus
|
Pembentukan spot hijau (%)
|
1
|
Kr0
|
Non Embriogenik
|
0 (mati)
|
2
|
Kr20
|
Non Embriogenik
|
0 (mati)
|
3
|
Kr40
|
Embriogenik
|
15
|
Gambar 3. Tipe
kalus nonembriogenik pada kultur antera
mutan cabai keriting
(C.annuum)
Gambar 4. Tipe
kalus embriogenik pada kultur antera
mutan cabai keriting
(C.annuum)
V. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa pemakaian media Ac mempunyai kemampuan untuk memperoleh persentase kalus
yang lebih tinggi yaitu berturut-turut Kr0 30%, Kr20 25% dan Kr40 30% pada
kondisi tanpa perlakuan stres dingin (0 hari) jika dibandingkan dengan media Bc.
Perlakuan awal dengan stres dingin selama tiga hari dapat meningkatkan
frekuensi pembentukan kalus dan spot hijau pada genotipe Kr40 sebesar 15% pada
media Ac.
DAFTAR PUSTAKA
Barany, I, et al. 2001. Microspore-derived
embryogenesis in pepper (Capsicum annuum L.):
subcellular rearrangements through development. Biol. Cell (2005) 97, 709–722.
BPS. 2002. Survei pertanian produksi
tanaman pangan dan sayuran di Indonesia. Biro Pusat Statistik. 185-199.
Chen,Y. 1988. In vitro
development of plant from microspores of rice. In Hu H and Hen.Y (eds);
Plant somatic genetics and crop improvement. Beijing Univ. Press.27-67.
Deptan.go.id.
2006. Penyakit umum pada tanaman cabai.
Goldberg, RB.,
TP Beals., and PM Sanders. 1993. Anther
development : Basic principles and practical applications. The Plant Cell.
5: 1217-1229.
Heiser CB, and
PG Smith. 1953. The cultivated capsicum
peppers. Econ. Bot. 7: 214-226.
Sunaryono H.
2000. Budidaya cabe merah. Sinar
Baru Algensindo, Bandung.
Henry,Y., Vain
P and De Busyer, J. 1994. Genetic
analysis of in vitro plant tissue culture responses and regeneration capacities.
Euphytica.
79:45-58.
Ishak dan Ita Dwimahyani. 1997. Induksi kalus dan regenerasi tanaman dari kultur antera padi varietas
Arias. Jurnal Bioteknologi Pertanian.
Vol 2: 44-48.
Kasha, KJ and
M, Malunszynski. 2003. Production of
doubled haploids in crop plants. An introduction, In doubled haploid production
in crop plants, A manual. Kluwer Academic Publisher.1-19.
Sanjaya L dkk. 2002. Keragaman
ketahanan aksesi Capsicum terhadap
antraknose (Colletotrichum capsici) berdasarkan penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 7, No. 2, pp. 37-42.
Mercy, ST and FJ, Zapata.1987. Position of anthers at plating and its influence on anther callusing in
rice. Plant Cell Reports. 6:318-319.
Morrison, RA and DA, Evans.1988. Haploid plant from tissue culture; New plant varieties in a shortened
time frame. Bio Technology. 6 : 684-690.
Murashige, T and F, Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue
cultures. Physiol Plant. 15:473-497.
Novak, FJ. 1974. Induction of a haploid callus in anther
cultures of Capsicum sp. Z Pflanzenzucht. 72: 46-54.
Qu, RD and Y, Chen.1983. A preliminary research on the function of enhancement of callus
induction frequency by cold pretreatment in rice anther culture. Acta
Phytophysiol Sinica. 9:375-381.
Rackoczy, MT., Smiech, M and Malepszy, S. 1997. The influence of genotype and medium on rye
(Secale cereale L.) anther culture.
Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 48:15-21.
Sibi, M., Vaulx, DR and Chambonnet, B. 1979. Obtention de plantes haploids par
androgenese in vitro chez le piment (Capsicum
annuum, L). Ann Amel Plantes. 29:583-606.
Sun, ZR., Ni, PC and Huang, ZZ. 1990. Studies on the analysis of variance and major/minor factors of medium
components influencing the efficiency of anther culture ability. Acta
Agronsin. 16:123-130.
Wang, YY., Sun, CS., Wang, CC and Chien, NF.
1973. The induction of pollen plantlets
of Triticale and Capsicum annuum from anther culture. Sci sin. 16:147-151.
Xie, J., M, Gao., Q, Cai., X, Cheng., Y, Shen and Z,
liang. 1995. Improved isolated
microspore culture efficiency in medium with maltose and optimized growth
regulator combination in Japonica rice (Oryza sativa, I). Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 42:245-250.
No comments:
Post a Comment